cerpen sang pecundang


MARSINAH sang KEMBANG PASAR TRADISIONAL
sang pecundang
Sepulang dari pasar tradisional, Marsinah yang berwajah sangat ayu itu di goda oleh dua orang laki-laki yang tak jelas juntrungnya, memang sebagai laki-laki normal yang masih suka pada perempuan, marsinah layak untuk digoda. Caranya berpakaian dan make-up yang begitu tebal menggoda gairah setiap laki-laki yang melihatnya. Namun anehnya marsinah malah menikmati godaan dari laki-laki yang tak tahan melihatnya. Rambutnya yang hitam panjang, matanya yang bulat layaknya jengkol, hidungnya yang mancung, bibirnya yang seksi lekat dengan lipstik warna merah tebal, badannya yang sangat berisi pas dengan baju bermotif kembang-kembang dan celana jeans berwarna ungu. “Yah,,,marsinah sangat anggun, seandainnya dia mau menikah denganku, hari ini, saat ini, dan detik ini juga aku kan melamarnya”  hayalan salah satu pedagang di pasar itu.
Kejadian tersebut berulang-ulang terjadi dan dialami oleh marsinah sang kembang pasar tradisional, julukan itu diberikan oleh tukang jengkol di pasar tradisional tersebut yang di tujukan untuk marsinah yang sangat gemar makan jengkol dengan aneka racikan masakannya. Gaya bicara dan tingkah laku yang menandakan marsinah ini adalah wanita genit mengundang seorang laki-laki gagah, tampan, yang turun dri sebuah mobil yang ku rasa mobil itu  sangat mahal dan tidak semua orang bisa membeli mobil seperti itu. Laki-laki itu langsung menyodorkan tangannya yang menandakan ingin berkenalan dengan marsinah, dan ekspresi muka terheran-heran, dengan gaya mulutnyya yang menganga, serta tangannya yang gemetaran langsung menyodorkan tangannya juga dengan bungkusan jengkol di tangan kirinya.
“bolehkah aku mengetahui nama bidadari yang membuat pasar ini geger???” Ujar laki-laki yang ingin berkenalan dengannnya, sambil mengayunkan tangannya layaknya dalam film-film romantis yang mendayu-dayu.
“e....e....e...., de,,,dengan senang hati” marsinah masih gugup gemetaran.
“Kenapa kau?? Seperti orang sedang kebingunngan saja”. Sambil memukul mesra pundak marsinah.
“a...a....a....hhhh,,,,,,tidak,tidak apa-apa mas, aku hanya sedikit grogi karena berkenalan dengan orang macam anda ini,,,pemuda itu hanya tersenyum kecil”.
“Lantas, ada apa ya mas??? Aaa..pa aku bersalah????”masih dengan gugupnya.
“Aaaahhhhh.... ya,,, kau bersalah,,”
“Salah apa????” Saut marsinah bagai bensin terkena api.
“Ya....kau bersalah karena memiliki wajah yang amat cantik dan badanmu yang tak pernah lepas dari sorot mataku ini, rasanya kita pernah bertemu sebelumnya?? tapi aku lupa dimana kita pernah bertemu”. Bualan sang pemuda itu.
Marsinah menjawab setelah berfikir sejenak “ aahhh...mas ini bisa saja,,bualanmu itu lho mas,,,mungkin hanya perasaan mas saja,,,” karena bertemu dengan gadis sepertiku yang cantik ini. Sambil badannya berbalik malu.
Oooooo...aku ingat sekarang,,, kita pernah bertemu dalam dongeng Romeo & Juliete, aku menjadi Romeonya dan kau menjadi Julietnya.." wajah marsinah makin merona malu-malu.
Pemuda itu memang selain tampan juga orang terpandang di  daerahnya, ayahnya yang juga memiliki peran sangat berpengaruh di DPR, itu membuat si pemuda yang bernama Rifki ini jadi semakin muudah dalam menjalani hidupnya, segala sesuatu tersedia tanpa kekurangan sedikitpun. Namun itu menjadikan rifki anak yang manja dan tak pernah tahu akan sulitnya untuk bertahan hidup.
Sedang marsinah harus bertahan dengan hidupnya yang sangat serba pas-pasan, dan terkadang kekurangan, namun itu tak merubah sifat dan kelakuan marsinah yang manja dalam hal terhadap laki-laki, apalagi dia memiliki wajah yang cantik dan badan yang indah untuk dilihat. “Ini modal utamaku dalam hidup” ujar marsinah dalam hatinya sambil memuji dirinya sendiri di depan bongkahan cermin kecil.
Perkenalan mereka berlanjut menjadi lebih dekat dan akrab lagi, setiap mersinah akan berbelanja ke pasar tradisional yang sering ia datangi itu, sebuah mobil beserta pengemudinya sudah siap berada di depan halaman rumahnya untuk mengantarkan marsinah kemanapun yang diinginkannya. “Apa kau tidak malu mas???” pertanyaan marsinah dalam perjalanan menuju pasar. “Malu kenapa de’??” rifki berbalik bertanya. “Ya... malu bergaul dengan orang sepertiku, aku kan hanya orang miskin dan lagi pula wajahku tak lebih cantik dengan wanita-wanita di kota sana. Kau bisa mendapatkan wanita yang sesuai dengaan keinginanmu dengan mudahnya mas”. Marsinah merendah agar rifki lebih tertarik padanya.
“De’,,,aku ini tak melihat wanita  dari wajah dan darimana dia berasal, yang penting aku suka, aku sayang, dan aku ingin memilikinya. Entah kau ini dari kampung, atau dari kota bagiku sama saja de’. Aku cinta padamu, dan akan selalu menemanimu layaknya belatung yang setia pada bangkai”.
Berarti aku ini kau anggap bangkai??? Betul??? Saut marsinah cepat.
Bukan,,,bukan seperti itu maksudku.
Lantas maksudmu itu apa? Aku di samakan dengan bangkai.
“Jadi begini...” ketika rifki akan menjelaskan marsinah memotong dengan cepat. “Aaaahhhhh,,,,sudahlah tak perlu kau jelaskan itu semua padaku, aku sudah paham isi otakmu itu, semua laki-laki sama saja, hanya menganggap wanita sebagai peliharaannya”. Dengan emosinya marsinah.
“Kau dengar aku bicara dulu lah,,,aku mohon kau diam dan dengar aku bicara”. Marsinah dengan wajahnya yang masih di tekuk. “aku akan selalu ada untukmu layaknya belatung yang setia pada bangkai, maksudku coba kau fikir lagi, betapa setianya belatung pada bangkai. Dan aku belajar kesetiaan itu dari belatung, aku tidak menganggapmu itu bangkai. Itu kan hanya sebuah istilah yang menggambarrkan kesetiaanku padamu. Kata-kata itu aku belajar dari para penyair”.
“Oooo...jadi sepeti itu,,, tapi benarkan yang kau ucapkan itu, apa bisa dipertanggung jawabkan ???” “yahhhh,,,aku serius, dan aku berani kelaminku di amputasi bila aku berbohong” wajah marsinah sedikit demi sedikit mulai tersenyum riang. Rayuan rifki berhasil meluluhkan marsinah, dan akhirnya marsinah rebah di pelukan rifki.
Rifki menemani marsinah ketika berbelanja, dan tak ketingglan, jengkol favoritnya itu selalu ia beli ketika pergi ke pasar. Rifki memang pemuda yang tak pernah malu dan mau menerima marsinah apa adanya dengan segala kekurangan dan kelebihhannya itu. Melihat marsinah berjalan dengan seorang pemuda anak anggota DPR yang sangat berpengaruh di daerahnya itu para pedagang tak mau ambil perkara dengannya, dan tak ada yang berani  menggoda  marsinah lagi. Senyuman marsinah mawarnai hingar bingar kerumunan pasar yang lekat dengan transaksi ini dan itu.
Marsinah pun dengan mudah jatuh dalam pelukan laki-laki itu, karena memang marsinah sudah percaya pada laki-laki yang terus memeluknya erat-erat ketika sampai di rumah, perbuatan yang sangat dikutuk oleh agama akhirnya lakukan,,,mereka larut dalam keindahan dunia semu, bunnga indah dalam bercinta pun mereka keluarkan, mereka tak peduli dengan linggkungan sekitar mereka. Aliran sungai mengalir dengan derasnya dari  sebuah air terjun yang terdapat didearahnya itu. Itu menambah indahnya percintaan mereka.
Mereka tertidur dan tak terasa hari telah berganti esok. Ketika mereka tersadar, Marsinah pun terkejut ketika mendapati dirinya sudah tak ada satu helai benang pun menutupi tubuh  indahnya itu. Marsinah menangis, kecewa, shock, dipukulah Rifki yang telah mengarungi samudara keperawanannya itu, namun Marsinah sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi, dia harus terima semua bencana indah yang mengguncang hatinya itu.
Rifki dengan entengnya menjawab ” pada saat itu, keinginan kita bersama dan tak ada paksaan dari siapa pun, kau jangan minta yang aneh-aneh padaku”. bungapun layu. Ketika marsinah meminta pertanggug jawabannya itu. dia lari dari kenyataan, ternyata itu memang target awal dia mendekati Marsinah si bunga pasar tradisional, dia tertawa-tawa puas melihat penderitaan Marsinah.
Marsinah hanya mampu menangisi semua yang telah terjadi tanpa mampu berbuat apa-apa. Hari-hari dilewatinya dengan lamunan dan tangisan. bunga pasar tradisional kini sudah layu dan tak mampu untuk menahan kelopak-kelopak bunganya agar tetap segar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

naskah MONUmen

monolog PENJARA yang disadur dari cerpen PENJARA karya Moh Wan Anwar

Langkah, Boleh Rehat ?