monolog PENJARA yang disadur dari cerpen PENJARA karya Moh Wan Anwar


Penjara
Monolog yang disadap dari cerpen Penjara, karya Moh.Wan Anwar (alm)

Aku berdiri di luar pagar. Memandang pintu rumah yang baru saja dikunci. Langit bersih. Di ufuk barat mega-mega tersapu sinar matahari yang tenggelam. Dua perempuan yang kucintai, hari ini telah menjadi jasad oleh tanganku sendiri. Aku, lelaki malang, telah membunuh mereka dengan satu harapan: terbebas dari kekacauan yang selama ini bercokol di jiwaku.
Aku kini siap menyerahkan diri kepada polisi. Aku akan sangat bahagia bila kelak pengadilan memvonisku dengan hukuman mati atau seumur hidup. Tuhan, berikan kebahagian itu sebagai kebahagiaan terakhir di dunia, gumamku. Aku tatap lagi pintu yang terkunci, Aku amati suasana sekeliling, tembok rumah yang seakan menahan nafas. Akhirnya dengan tegap aku tinggalkan rumah itu, menjauh, menjauh, menuju kantor polisi.

Di dalam rumah, tepatnya diruang tengah, dua mayat perempuan tergolek. Mayat pertama : perempuan cantik, kira-kira berumur 17 th, masih SMA, dengan darah yang mulai kering di sekitar perut dan dadanya. Dia anak perempuanku. Mayat kedua: perempuan cantik, kira-kira berumur 35 th, juga dengan darah yang masih basah di sekitar perut dan dadanya. dia calon istriku, calon ibu tiri anak perempuanku.

Siang, aku pulang dari kantor lebih cepat dari biasanya. Duduk di kursi malas tak jauh dari ruang makan. Mengguncang-guncang kursi itu, memelototi sebuah majalah, tetapi sangat malas sekali membacanya. Aku memang tidak sedang membacanya, sebab benakku sedang mengembara ke masa lalu. Masa-masa ketika hidup mengalir bahagia bersama istri yang kemudian memberiku anak perempuan.

Kami keluarga kecil. Aku bekerja sebagai wartawan di koran lokal, sedangkan istriku bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang industri logam. Kami hidup berkecukupan. Lagi pula gaya hidup kami tidak neko-neko, baik dalam hal makanan, pakaian, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Itu sebabnya aku pernah menyuruh isteriku untuk berhenti bekerja.

“sebenarnya, dengan gajiku, kita sudah cukup untuk hidup. Apa kau tidak punya keinginan untuk berhenti bekerja? Aku kasihan kau cape’.”

Sambil membetulkan selimut anakku yang baru berumur 2 th, istriku menyahut: “Mas, kita harus ingat janji sebelum menikah. Bukankah kau setuju kalau kita saling mendorong karier masing-masing?”
“iya, tapi....”

 Istriku meletakan telunjuk di atas bibirku, memotong pembicaraan. “Mas tidurlah, besok kau kan mau meliput berita diluar kota, nanti kesiangan! Lagian besok pagi aku harus secepatnya ke kantor untuk mengurus surat-surat penelitian itu. Besok pagi anak kita akan di titipkan pada ibu, biar tenang.” Kemudian isteriku mengecup pipiku dengan mesra. Kami pun lalu tertidur.

Penelitian itulah awal malapetaka yang menimpa keluargaku. Istriku melibatkan diri dalam penelitian yang di adakan perusahaan, yang berlokasi di salah satu hutan di pedalaman kalimantan. Lokasi itu diduga mengandung logam mulia dan barang tambang lainnya. Dengan berbagai alasan aku berusaha mempengaruhi isteriku agar tidak ikut dalam penelitian itu.

Kami berangkulan. Antara cemas dan gemas, iba dan mesra, kasih dan sedih menyatu dalam pelukan kami. Setelah campur aduk rasa dalam dada dan pelukan kami reda, aku agak menggoda: “Hati-hati dengan rekan kerja!” isteriku tersenyum manja, melirikan mata sambil mencubit perut suamiku: Mas yang harus jaga diri, jangan terlalu sering keluyuran, jangan tergoda cewek-cewek jalanan.”

Minggu pertama sampai kelima, aku selalu menerima surat dari istriku. Kabarnya selalu baik. Istriku juga bercerita tentang sulitnya memasuki pedalaman di sana, suasana sungai dan jeram, alam yang masih perawan, dan kesepiannya yang nyaris tak tertahan. Akan tetapi minggu berikutnya berita tiba dari Azis, rekan kerjanya di tempat penelitian, bahwa istriku hilang di sebuah sungai ketika menyebrang.

Aku itupun langsung menanyakan ke kantor pusat di Ibu Kota. Dari kantor, melalui bagian kepegawaian, tidak didapat kabar yang berani tegas memastikan, apakah istriku selamat atau meninggal. Yang pasti : Dia hilang di sungai yang kedalamannya lebih dari setinggi leher, dengan arus cukup deras. Menurut informasi lainnya, di sungai tersebut masih banyak berkeliaran buaya, ular-ular berbisa, dan binatang-binatang berbahaya lainnya. Dengan begitu kemungkinan meninggal bagi isteriku lebih besar. Tetapi Azis dan rekan lainnya, dalam surat berikutnya, selalu menghibur,kemungkinan masih hidup bisa saja terjadi.

Sampai rombongan tim penelitian perusahaan tempat istriku bekerja kembali ke kotanya, kabar istriku tetap tak jelas. Pihak perusahaan tidak berani menyatakan kalau istriku meninggal, sebab bisa saja suatu saat muncul lagi dengan selamat. Makannya gajinya tetap mengalir pada rekeningnya di sebuah bank.

Kenyataan ini membuat batin ku goncang, kacau sekacaunya. Ini membuat wajahku selalu murung, tindak-tanduknya seperti orang bingung.

“Istriku masih hidup”, demikian kesimpulanku. Setidaknya dalam daftar gaji, dalam daftar nama di beberapa kantor. “Tapi di mana istriku?” Tanyaku dalam hati. aku seolah-olah sedang mengadakan sesuatu yang tak ada dan dia tak berani meng-tak-ada-kan sesuatu yang mungkin ada.

Keadaan itu berlangsung dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun. Sampai pada saat aku mulai tak sanggup memendam hormon dan kobaran birahi lelaki normal yang mesti tidak setiap hari, pada saat-saat tertentu datang nyaris tak terhalang. aku harus jujur pada diriku bahwa aku mulai tersiksa oleh sunyi dan dingin malam. Sementara itu, cinta, kesetiaan, dan akal sehatku menolak untuk berbuat dosa memuntahkan lahar birahi dimana saja. aku tidak mau mengkhianati cinta istriku, menyakiti perasaan anakku, juga kontradiksi dalam diriku.

Entah berapa rokok yang terbakar dan disedot bibirku. Ceceran abu dan puntung rokok tidak selalu persis jatuh pada asbak yang berada dekat meja makan, tidak jauh dari kursi malas yang didudukiku. Sementara itu asap roko mengepul-ngepul, melingkar-lingkar, dihembuskan ke langit-langit, lalu menghilang di setiap celah dinding rumah. Sebagian lagi, asap roko dan nikotin menyusuri lorong gelap paru-paru dan kegelisahanku. Entah pada roko yang keberapa, tiba-tiba pintu diketuk. Anak perempuanku yang berumur 17 th sudah pulang dari sekolah.

Aku tetap diam menatap wajah anak perempuanku dalam-dalam. Tetapi di benakku itu wajah anakku bergoyang-goyang, berkelebatan, silih berganti dengan wajah isteriku yang kini entah ada dimana. Memang tidak bisa di pungkiri paras anakku mirip dengan paras ibunya.

Belakangan ini paras dan tubuh anakku sering membangkitkan keseluruhan sosok isteriku. Malah sering terasa bahwa anakku adalah isteriku. Tapi manakala aku bercermin, barulah sadar kalau aku mulai menua. Sadar pula bahwa, anakku adalah anakku yang dulu, selagi berusia 0-2 th, di asuh dengan penuh kasih bersama isteriku.

Ditatap demikian anakku menangkap  ada suatu di balik sosok ku. Mungkin semacam magma atau banjir yang siap muntah. Atau derita rindu yang telah membatu. Sementara itu jauh di kedalaman lorong jiwa aku sedang berusaha menahan pedih masa lalu dan menahan pikiran gila yang belakangan bersemayam di batok kepalaku: Membunuh! Ya, membunuh segala sesuatu yang membangkitkan masa lalu. aku ingin melenyapkan masa lalu. Ingin melenyapkan seluruh kisah diriku dan keluargaku.

Pada titik puncak pertemuan mata dengan mata antara seorang ayah yang sangat mencintai anaknya dengan seorang anak yang mencintai ayahnya. aku memeluk tubuh anakku erat-erat sambil menahan tangis. Dan tiba-tiba ditikam-tikamnya pisau lipat yang belakangan tak pernah lepas dari saku celanaku, ke perut dan dada anakku, berkali-kali. Darah segar keluar dari tubuh anak perempuan itu.
“Kenapa ayah menikam saya? Kenapa?”
Tubuh itu lalu rebah. Basah oleh darah. Mata tajam menatap atap. Mengejang, meregang. aku melumat sebagian darah anakku, mengecup keningnya, lalu mengatupkan mata yang masih menatap itu. “maafkan ayah sayang, maafkan!”

Tubuh anakku lalu kaku sebekunya. Dengan saputangan, aku mengusap air mata yang sempat menitik. Kemudian aku membersihkan tangan dan tubuhnya dari darah, mengganti pakaianya. Menggeser jasad anakku ke tepi lantai, menutupnya dengan sarung batik solo milik istriku. Membersihkan lantai agar bersih seperti sedia kala.

Menjelang senja, ketika suasana rumah sudah kembali sediakala, pintu di ketuk lagi. Seorang perempuan kurang lebih 35 th sudah berdiri di balik pintu, membukanya. Setelah mata bertatap mata, senyum bertemu senyum, aku memeluk perempuan itu. Aku mencintaimu, desisinya hampir tak terdengar.

Diruang tengah, ketika perempuan itu bermaksud melepaskan rangkulan ku, sebuah tusukan benda tajam menikam ulu hatinya. Perempuan itu menggelepar kemudian roboh seperti tadi di alami anakku.

“kenapa Mas menikam....” Sepertinya perempuan itu ingin sekali meneruskan kata-katanya, tetapi darah tersendat beredar dan pandangan mulai samar. Hanya tatap, ya, hanya tatap, mata bertatap mata, selebihnya mereka hanya saling menerka.
“maafkan aku, maafkan!” kataku sambil mengecup kening perempuan itu. Membelainya dari ujung rambut ke ujung kaki. Mengatupkan kedua  matanya yang masih terbuka. Kembali aku membersihkan tangan dan tubuhnya, mengganti pakaiannya. Membersihkan lantai, menepikan jasad ke dekat dinding, menutupnya dengan kain putih.

Suasana rumah memang kembali seperti sediakala, meski desir anyir tidak bisa di singkirkan. aku lalu berermin, menatap kerut-kerut di mukaku, membaca usia yang merangkak tua, meyakinkan diri bahwa aku telah bertindak yang pantas untuk di tindak. Setelah yakin pakaianku rapi, aku bersiap pergi. aku menyempatkan lagi menatap kedua mayat  yang sudah di tutup dengan kain batik  dan kain putih. Mengedarkan pandangan ke seluruh isi rumah yang akan di tinggalkanku. Terbayang lagi ketika pada suatu hari aku memeluk dan menciumi perempuan, calon istriku yang kini sudah menjadi mayat, dengan penuh hasrat birahi. Waktu itu aku dan dia melakukannya di kursi pojok. Ibarat gunung yang sekian lama murung, membantu menahan rindu, hari itu lahar yang di pendam lama telah bergolak dan bersiap muncrat menuju nikmat. Tetapi tiba-tiba pintu di ketuk anak perempuanku yang pulang sehabis mengikuti les tari. Ketiganya terkejut saat itu. Saling pandang, Saling memasuki jiwa yang bimbang. Tapi tidak sepatah kata pun terlontar. Agaknya mereka menafsirkan kejadian tersebut dengan versinya sendiri-sendiri. Itu pun dibiarkan tersimpan di dalam hati.

Kini lengkaplah sudah penderitaan. Tuntas sudah segala dosa. Demikian aku mengakui dan menerimanya dalam hati. Dan kini aku siap untuk dipenjarakan. “Tidak apa-apa sebab bagiku kenyataanya semua tempat di dunia ini adalah penjara” demikian gumam ku  sambil mengunci pintu pagar rapat-rapat.
SELESAI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

naskah MONUmen

TEATER KAFE IDE DI TAHUN 2013